Komponen Harga Batu bara dalam Formula Baru Tarif Listrik



Pemerintah berencana untuk menerapkan formula baru tarif listrik dengan memasukkan komponen harga batu bara. Dilansir dari CNN Indonesia bahwa menteri ESDM Ignasius Jonan sudah menyetujui dimasukkannya harga batu bara dalam formula tarif listrik penyesuaian (adjustment). Formula pembentukan tarif listrik baru akan tertuang dalam keputusan menteri ESDM yang akan diterbikan pada Maret 2018, dan sebelum diterbitkan  akan dibahas terlebih dahulu dengan Kementerian lain untuk disinkronisasikan.


Saat ini, komponen formula tarif listrik terdiri dari:

  • ·         Inflasi

  • ·         Kurs rupiah

  • ·         Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).

Lalu mengapa komponen batubara diperhitungkan dalam formula tarif listrik ? Hal ini dikarenakan saat ini 50 persen lebih pasokan listrik Indonesia dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Sedangkan pembangkit listrik tenaga diesel pengoperasiannya terus berkurang. Selain itu, penggunaan batu bara sebagai sumber energi primer pembangkit listrik diperkirakan masih akan berlangsung hingga 2025.

Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintah memutuskan untuk tidak menaikkan tarif listrik untuk semua golongan pelanggan PT PLN (Persero) baik bersubsidi atau nonsubsidi. Keputusan tersebut berlaku hingga 31 Maret 2018. Seperti yang dikutip dari data PLN, berikut daftar tarif listrik hingga bulan maret 2018:

Golongan pelanggan bersubsidi:

  • ·         Rumah tangga 450 Volt Amper (VA), tetap sebesar Rp 415 untuk pemakian listrik per kilo Watt hour (kWh).

  • ·         Rumah tangga 900 VA tidak mampu, tetap sebesar Rp 586, untuk pemakaian listrik per kWh.

Golongan pelanggan yang tidak disubsidi, tarif listrik yang akan dikenakan sebagai berikut:

  • ·         Tegangan Rendah (TR) Rp 1.467,28 per kilo kWh

  • ·         Golonggan 900 VA Rumah Tangga Mampu (RTM) Rp 1.352 per kWh

  • ·         Tarif listrik Tegangan Menengah (TM) Rp 1.114,74 per kWh

  • ·         Tarif listrik Tegangan Tinggi (TT) Rp 996,74 per kWh

  • ·         Tarif listrik di Layanan Khusus Rp 1.644,52 per kWh.


Rencana pemerintah dalam pembentukkan formula baru ini diperkirakan akan membuat inflasi bengkak. Bahkan, melewati target inflasi pemerintah sebesar 3,5 persen secara tahunan (year on year/yoy) pada tahun ini. Dikutip dari CNN Indonesia, Bhima Yudhistira Adhinegara, Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengestimasi, inflasi akan bengkak ke kisaran 4,2 persen bila ada kenaikan tarif listrik pada tahun ini.

Untuk itu, pemerintah diminta tak menaikkan tarif listrik dalam waktu dekat. Bahkan, hingga akhir tahun ini untuk benar-benar memulihkan daya beli masyarakat sekaligus menjaga inflasi lebih dulu.
Menurut dia, jalan keluar yang bisa dilakukan adalah dengan menanggung selisih tarif keekonomian dan tarif yang harus dibayar masyarakat menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Maka itu, di satu sisi juga tidak memberatkan keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN yang justru diberi mandat untuk menalangi selisih tarif keekonomian dan yang dibayarka masyarakat. Dengan hal ini, diharapkan tarif listrik bagi masyarakat tidak naik, daya beli masyarakat terjaga, dan target inflasi pemerintah tetap bisa tercapai dalam kisaran yang diharapkan.

Bukan hanya berpengaruh pada perekonomian skala rumah tangga, perubahan formula ini sangat mempengaruhi dunia industri, contohnya saja perusahaan tekstil dan produk turunannya. Sebab, penggunaan listrik dalam proses produksi tekstil cukup besar, sehingga banyak produsen yang tidak akan kuat menanggung beban biaya operasional yang melonjak tinggi.



Ketua Umum API (Asosiasi Pertekstilan Indonesia) Ade Sudrajat mengatakan, sudah banyak industri tekstil yang tutup tahun lalu hanya gara-gara tidak kuat menanggung beban listrik yang semakin mahal. Menurut beliau, beban listrik di industri hulu tekstil berkisar antara 25 persen hingga 28 persen dari total komponen ongkos produksi. Sementara itu, beban listrik di industri pemintalan dan pertenunan masing-masing tercatat 18 hingga 25 persen dan 15 hingga 22 persen dari total biaya produksi.

Jika harga listrik terus naik, maka ini tentu bisa menjadi ganjalan bagi pertumbuhan produksi tekstil nasional yang dipatok 5 persen tahun ini. Bahkan, ini juga mempengaruhi kinerja ekspor tekstil Indonesia yang sedang tumbuh mekar, di mana angkanya mencapai US$12,4 miliar atau naik dibanding tahun sebelumnya US$11 miliar.

Dengan ini hendaknya pemerintah memikirkan kembali dan mencari solusi yang tepat dimana dalam pembentukan formula baru ini tidak ada pihak yang dirugikan baik PLN maupun masyarakat.

Source :

Komentar